Selasa, 12 Juni 2018

Rimba Kenangan



Bukan Seperti Cinta yang Aku Impikan

Bahkan aku tidak memikirkan apa-apa lagi seain pikiranku yang telah semakin tumbuh dan becabang liar di samudera kepalaku. Merindui adalah salah satu celah dari detik yang kumiliki,  beberapa kali aku ingin mengatakan aku benci dan aku lelah beberapa kali aku tersadar jika aku  dalam kata-kata menyerah itu, sungguh aku adalah orang yang paling rugi dan lelah.

Siang itu masih dalam balutan langit bumi khalistuwa yang indah, aku dan bebarapa temanku masih berjalan riang, menyesuri sudut-sudut jalan kampus yang kaku, tapi bersama mereka tidak pernah kaku, ada saja pembahasan yang renyah dan mengundang tawa yang membludak, seperti biasa Rere masih menjadi pemimpinnya. Anak hitam manis itu selalu begitu, selalu menjadi ketua bagian untuk membicarakan hal-hal konyol yang kadang tidak sempat dipikirkan dan masuk akal, tapi menjadi bahan lelucon yang membuat sakit perut bersamanya.
Tapi semester ini, sudah mulai beda, tawa menggema itu selalu diakhiri dengan pikiran tentang menjadi mahasiswa akhir.
“Proposal euy, proposal...” Seperti biasa Iin selalu bertingkah sebagai mak-mak yang suka mengingati.
Sontak pembahasan mereka pun berubah, mukanya mulai kuyu, lusuh apalagi Rere, aku tahu anak itu, dia tipe anak yang tidak ingin menyia-nyiakan uang orang tua, paling rajin belajar dan cacatannya paling lengkap diantara kami, meskipun kami akan kebingungan membaca catatannya itu, soalnya dia menulis apa saja yang dosen jelaskan, mulai poin-poin, sampai dengan contoh sederhana yang dikatakan dosen, sehingga kami akan tertawa geli ketika membaca catatannya. Seperti pada mata kuliah hukum pidana,dosen yang menjelaskan tentang contoh kasus antara cowok dan cewek yang bersengketa, itu masuk ke dalam contoh yang bagaimana.
Tidak hanya Rere, begitu juga Vivi si cewek aneh yang mengakui tidak bisa hidup jomblo, dia juga akan pusing jika harus mengingat tentang ini. Aku? Apalagi bingung benar-benar bingung, bagiku menyelesaikan proposal adalah menyelesaikan tantangan separuh mimpi, agak lebay mungkin, tapi ya begitulah. Meskipun begitu mukaku masih bisa dikontrol, aku seolah sok santai dan berujar.
“Proposal itu bukan dicemasi, tapi dicari, dipikirkan diolah, kalau gak belum dapat, please jangan rusak hari ini gara-gara dia” Kataku sok tenang, sok santai.
Beragam tanggapan lain yang aku dengar dari mereka, tapi aku hanya membalasnya dengan senyum, kecuali untuk tanggapan yang positif dan negatif. Untuk tanggapan yang positif aku aminkan dan untuk yang negatif aku berdoa dan berlindung kepada Allah agar hal tersebut tidak terjadi.
Pembahasan semester akhir adalah pembahasan yang klasual diantara kami, didalamnya bercampur aduk dengan berbagai tema lain, beradu padu. Sala satunya pembahasan calon imam, hemm... sepertinya pada pembahsan proposal pasti diiringin dengan pembahasan jodoh bahkan pembahsan jodoh hampir kalah tenar dengan pembahasan proposal itu sndiri.
“Heumm... Andaikan nanti pas aku buat skripsi, ada yang menemani, atau ada yang bantu kita lembur malam sambil bantu kita buatnya..” kata Seseorang diantara kami sore itu di sebuhak kantin langganan satu ruang.
“Unchhhh.....” Seorang yang lain menyeru sambil meletakkan tangna rapi dibawah pipinya, matanya setengah terpejam menmbayangkannya.
“Terus ada yang nyemangati...” Sambung yang lain lagi.
Aku tidak menyahit apapun, keculai dengan menghentikan aktivitasku yang sedang membuka hape-hape. “Ah, seandainya mereka tahu, itu yang sedang aku mimpikan”
Hampir seluruh anak angkatan aku seperti itu kecuali satu dua orang yang sepertinya memeluk prinsip wainita lebih modern dengan bekarir dulu, kuliah yang benar, ambil SII dan kerja baru menikah maka ketika itu dia akan berseru.
“Sibuk calon imam aja, kerja dulu dong baru nikah”
“Eh, kerja ya kerja, nikah ya nikah” salah seorang yang lain mneyahutinya.
“Tapi kan yang namnaya kita udah nikah, mana sempat berkarir cemerlang lagi, wanita itu harus modern dan mandiri donk”.
Banyak argumen yang mereka ributkan kemudian, dan menjadi topik hangat ditengah kantin sore itu. Saat itu, aku tidak banyak menanggapi, bagiku mau kerja atau menikah itu pilihan setiap orang, tapi menurutku mau jadi apapun memang wanita itu sah-sah saja, asalakan dia kembali dan tidak lupa pada kodratnya, wanita yang mulai dengan menjadi seorang istri dan ibu yang bertangung jawab dan aku sendiri, aku bukan tipe wanita yang gila kerja, tapi aku gila karir, bagaimana maksudnya itu. Aku ingin menjadi pekerja dirumah bersama anak-anak dan suamiku kelak, aku paling benci memakai baju jas dan sepatu  hak lalu pergi pagi pulang petang, aku tidak suka kerja kantoran. Tapi aku ingin tetap berpenghasilan. Aku ingin menjadi penulis yang tetap menghasilkan walaupun tinggal dirumah dan dalam setiap doaku aku selau mendoakan agar Allah mengirim lelaki yang tidak membuatku harus kerja kantoran dan mendukung hobiku.
Lelaki dimasa depan itu. Lelaki yang menawarkan surga, mendekatkan surga, menebarkan cinta surga, cinta surga, perasaan yang sederhana tapi membimbing. Dimana bisa aku temukan orang seperti itu? Atau apakah orang seperti itu bisa menemukanku. Aku terhenti pada pertanyaan yang belum kutahu karena.
Mengingat pembahasan itu, pikiranku lansung kepada orang itu, orang di dunia bayangan itu, ada celah angin yang memaksa masuk dalam jendela yang telah kukunci, menyelinap diantara angin siang, sepertinya itu angin rindu. “Ah, andai orang itu ada didunia nyata, bukan dunia bayanganku. Orang itu masih sama, orang yang sama dalam ceritaku dulu, abang yang unik dan sok banyak tahu, meskipun dia tahu. Aku sudah mengenal dia cukup lama, meski dengan komunikasi yang masih bisa dihitung jari. Kami jarang  komunikasi dengan alasan dia yang sedang sibuk dengan dunianya, mematikan hape dan fokus belajar di sebuah pesantren. Dalam komunikasi hitungan jari itu, aku mengenal dia, mengenal dari satu persatu kata-katanya. Dia menyenangkan, membimbing,dan aku mulai tahu kenapa dia begitu mudah disukai, dikagumi, atau bahkan dicintai. Tidak peduli aku yang mungkin terlalu dini untuk menvonis, tapi yang aku tahu, dia punya pesona itu. Tapi dia bagiku masih dalam dunia bayangan, dan aku adalah orang yang takut menarik dia dalam dunia nyataku, takut karena aku belum siap dalam dugaanku, dugaan yang akan membuat aku jatuh.
“Adek Trauma?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Akhir Dari Move On

 Serius ini yang terakhir. janji deh.. Soal ramadhan yang lalu, dan saya yang sudah sepenuhnya ikhlas hingga lebaran sebuah cerita yang memb...