Bukan Seperti Cinta yang Aku Impikan
Bahkan aku tidak memikirkan apa-apa lagi
seain pikiranku yang telah semakin tumbuh dan becabang liar di samudera
kepalaku. Merindui adalah salah satu celah dari detik yang kumiliki, beberapa kali aku ingin mengatakan aku benci
dan aku lelah beberapa kali aku tersadar jika aku dalam kata-kata menyerah itu, sungguh aku
adalah orang yang paling rugi dan lelah.
Siang itu masih
dalam balutan langit bumi khalistuwa yang indah, aku dan bebarapa temanku masih
berjalan riang, menyesuri sudut-sudut jalan kampus yang kaku, tapi bersama
mereka tidak pernah kaku, ada saja pembahasan yang renyah dan mengundang tawa
yang membludak, seperti biasa Rere masih menjadi pemimpinnya. Anak hitam manis
itu selalu begitu, selalu menjadi ketua bagian untuk membicarakan hal-hal
konyol yang kadang tidak sempat dipikirkan dan masuk akal, tapi menjadi bahan
lelucon yang membuat sakit perut bersamanya.
Tapi semester
ini, sudah mulai beda, tawa menggema itu selalu diakhiri dengan pikiran tentang
menjadi mahasiswa akhir.
“Proposal euy,
proposal...” Seperti biasa Iin selalu bertingkah sebagai mak-mak yang suka
mengingati.
Sontak pembahasan
mereka pun berubah, mukanya mulai kuyu, lusuh apalagi Rere, aku tahu anak itu,
dia tipe anak yang tidak ingin menyia-nyiakan uang orang tua, paling rajin
belajar dan cacatannya paling lengkap diantara kami, meskipun kami akan
kebingungan membaca catatannya itu, soalnya dia menulis apa saja yang dosen
jelaskan, mulai poin-poin, sampai dengan contoh sederhana yang dikatakan dosen,
sehingga kami akan tertawa geli ketika membaca catatannya. Seperti pada mata
kuliah hukum pidana,dosen yang menjelaskan tentang contoh kasus antara cowok
dan cewek yang bersengketa, itu masuk ke dalam contoh yang bagaimana.
Tidak hanya
Rere, begitu juga Vivi si cewek aneh yang mengakui tidak bisa hidup jomblo, dia
juga akan pusing jika harus mengingat tentang ini. Aku? Apalagi bingung
benar-benar bingung, bagiku menyelesaikan proposal adalah menyelesaikan
tantangan separuh mimpi, agak lebay mungkin, tapi ya begitulah. Meskipun begitu
mukaku masih bisa dikontrol, aku seolah sok santai dan berujar.
“Proposal itu
bukan dicemasi, tapi dicari, dipikirkan diolah, kalau gak belum dapat, please
jangan rusak hari ini gara-gara dia” Kataku sok tenang, sok santai.
Beragam
tanggapan lain yang aku dengar dari mereka, tapi aku hanya membalasnya dengan
senyum, kecuali untuk tanggapan yang positif dan negatif. Untuk tanggapan yang
positif aku aminkan dan untuk yang negatif aku berdoa dan berlindung kepada
Allah agar hal tersebut tidak terjadi.
Pembahasan semester
akhir adalah pembahasan yang klasual diantara kami, didalamnya bercampur aduk
dengan berbagai tema lain, beradu padu. Sala satunya pembahasan calon imam,
hemm... sepertinya pada pembahsan proposal pasti diiringin dengan pembahasan
jodoh bahkan pembahsan jodoh hampir kalah tenar dengan pembahasan proposal itu
sndiri.
“Heumm...
Andaikan nanti pas aku buat skripsi, ada yang menemani, atau ada yang bantu
kita lembur malam sambil bantu kita buatnya..” kata Seseorang diantara kami
sore itu di sebuhak kantin langganan satu ruang.
“Unchhhh.....”
Seorang yang lain menyeru sambil meletakkan tangna rapi dibawah pipinya,
matanya setengah terpejam menmbayangkannya.
“Terus ada yang
nyemangati...” Sambung yang lain lagi.
Aku tidak
menyahit apapun, keculai dengan menghentikan aktivitasku yang sedang membuka
hape-hape. “Ah, seandainya mereka tahu, itu yang sedang aku mimpikan”
Hampir seluruh
anak angkatan aku seperti itu kecuali satu dua orang yang sepertinya memeluk
prinsip wainita lebih modern dengan bekarir dulu, kuliah yang benar, ambil SII
dan kerja baru menikah maka ketika itu dia akan berseru.
“Sibuk calon
imam aja, kerja dulu dong baru nikah”
“Eh, kerja ya
kerja, nikah ya nikah” salah seorang yang lain mneyahutinya.
“Tapi kan yang
namnaya kita udah nikah, mana sempat berkarir cemerlang lagi, wanita itu harus
modern dan mandiri donk”.
Banyak argumen
yang mereka ributkan kemudian, dan menjadi topik hangat ditengah kantin sore
itu. Saat itu, aku tidak banyak menanggapi, bagiku mau kerja atau menikah itu
pilihan setiap orang, tapi menurutku mau jadi apapun memang wanita itu sah-sah
saja, asalakan dia kembali dan tidak lupa pada kodratnya, wanita yang mulai
dengan menjadi seorang istri dan ibu yang bertangung jawab dan aku sendiri, aku
bukan tipe wanita yang gila kerja, tapi aku gila karir, bagaimana maksudnya
itu. Aku ingin menjadi pekerja dirumah bersama anak-anak dan suamiku kelak, aku
paling benci memakai baju jas dan sepatu
hak lalu pergi pagi pulang petang, aku tidak suka kerja kantoran. Tapi
aku ingin tetap berpenghasilan. Aku ingin menjadi penulis yang tetap
menghasilkan walaupun tinggal dirumah dan dalam setiap doaku aku selau
mendoakan agar Allah mengirim lelaki yang tidak membuatku harus kerja kantoran
dan mendukung hobiku.
Lelaki dimasa
depan itu. Lelaki yang menawarkan surga, mendekatkan surga, menebarkan cinta
surga, cinta surga, perasaan yang sederhana tapi membimbing. Dimana bisa aku
temukan orang seperti itu? Atau apakah orang seperti itu bisa menemukanku. Aku
terhenti pada pertanyaan yang belum kutahu karena.
Mengingat pembahasan
itu, pikiranku lansung kepada orang itu, orang di dunia bayangan itu, ada celah
angin yang memaksa masuk dalam jendela yang telah kukunci, menyelinap diantara
angin siang, sepertinya itu angin rindu. “Ah, andai orang itu ada didunia
nyata, bukan dunia bayanganku. Orang itu masih sama, orang yang sama dalam
ceritaku dulu, abang yang unik dan sok banyak tahu, meskipun dia tahu. Aku
sudah mengenal dia cukup lama, meski dengan komunikasi yang masih bisa dihitung
jari. Kami jarang komunikasi dengan
alasan dia yang sedang sibuk dengan dunianya, mematikan hape dan fokus belajar
di sebuah pesantren. Dalam komunikasi hitungan jari itu, aku mengenal dia,
mengenal dari satu persatu kata-katanya. Dia menyenangkan, membimbing,dan aku
mulai tahu kenapa dia begitu mudah disukai, dikagumi, atau bahkan dicintai.
Tidak peduli aku yang mungkin terlalu dini untuk menvonis, tapi yang aku tahu,
dia punya pesona itu. Tapi dia bagiku masih dalam dunia bayangan, dan aku
adalah orang yang takut menarik dia dalam dunia nyataku, takut karena aku belum
siap dalam dugaanku, dugaan yang akan membuat aku jatuh.
“Adek Trauma?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar